Siapakah Al Ghazali Itu ? Inilah Biografi Singkat Al Ghazali

Pada artikel sebelumnya  telah kami kupas tentang biografi syekh abdul qodir jailani, kali ini masuk-islam.com akan mengupas tentang biografi Al-Ghazali, tentunya bukan Al-Ghazali anaknya Ahmad Dhani yang lagi naik daun dan lagi digandrungi remaja wanita, akan tetapi Al-Ghazali disini adalah seorang filosofi.

[caption id="attachment_4029" align="aligncenter" width="465"]imam al-ghazali imam al-ghazali illustrasi[/caption]

Al-Ghazali, atau lebih lengkapnya Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi'i adalah salah satu ahli hukum Islam terbesar, teolog dan pemikir mistik. ia belajar berbagai cabang ilmu-ilmu agama Islam tradisional di rumahnya kota tus, Gurgan dan Nishapur di bagian utara dari iran. dia juga terlibat dalam praktik-praktik sufi sejak usia dini.

Al-Ghazali lahir di Thus; 1058 / 450 H – meninggal di Thus; 1111 / 14 Jumadil Akhir 505 H; umur 52–53 tahun, adalah seorang filosof dan teolog muslim Persia, yang dikenal sebagai Algazel di dunia Barat abad Pertengahan

Imam Al-Ghazali adalah seorang ulama, ahli pikir, ahli filsafat Islam yang terkemuka yang banyak memberi sumbangan bagi perkembangan kemajuan manusia.

Ia diangkat menjadi kepala perguruan tinggi Nizhamiyah di baghdad tahun 484H atau 1091 M. sebagai kepala intelektual masyarakat Islam, Dia sibuk berceramah tentang  Islam di perguruan tinggi, empat tahun kemudian,  al-Ghazali jatuh ke dalam krisis spiritual serius dan akhirnya meninggalkan baghdad, dan meninggalkan karirnya.

Imam al-Ghazali mempunyai daya ingat yang kuat dan bijak berhujjah. Ia digelar Hujjatul Islam karena kemampuannya tersebut. Ia sangat dihormati di dua dunia Islam yaitu Saljuk dan Abbasiyah yang merupakan pusat kebesaran Islam. Ia berjaya menguasai pelbagai bidang ilmu pengetahuan.

Imam al-Ghazali sangat mencintai ilmu pengetahuan. Ia juga sanggup meninggalkan segala kemewahan hidup untuk bermusafir dan mengembara serta meninggalkan kesenangan hidup demi mencari ilmu pengetahuan. Sebelum beliau memulai pengembaraan, beliau telah mempelajari karya ahli sufi ternama seperti al-Junaid Sabili dan Bayazid Busthami. Imam al-Ghazali telah mengembara selama 10 tahun. Ia telah mengunjungi tempat-tempat suci di daerah Islam yang luas seperti Mekkah, Madinah, Jerusalem, dan Mesir.

Imam Al Ghazali terkenal sebagai ahli filsafat Islam yang telah mengharumkan nama ulama di Eropa melalui hasil karyanya yang sangat bermutu tinggi. Sejak kecil lagi beliau telah dididik dengan akhlak yang mulia. Hal ini menyebabkan beliau benci kepada sifat riya, megah, sombong, takabur, dan sifat-sifat tercela yang lain. Ia sangat kuat beribadat, wara', zuhud, dan tidak gemar kepada kemewahan, kepalsuan, kemegahan dan mencari sesuatu untuk mendapat ridha Allah SWT.

Pada tingkat dasar, beliau mendapat pendidikan secara gratis dari beberapa orang guru karena kemiskinan keluarganya. Pendidikan yang diperoleh pada peringkat ini membolehkan beliau menguasai Bahasa Arab dan Parsi dengan fasih. Oleh sebab minatnya yang mendalam terhadap ilmu, beliau mula mempelajari ilmu ushuluddin, ilmu mantiq, usul fiqih,filsafat, dan mempelajari segala pendapat keeempat mazhab hingga mahir dalam bidang yang dibahas oleh mazhab-mazhab tersebut.

Selepas itu, beliau melanjutkan pelajarannya dengan Ahmad ar-Razkani dalam bidang ilmu fiqih, Abu Nasr al-Ismail di Jarajan, dan Imam Harmaim di Naisabur. Oleh sebab Imam al-Ghazali memiliki ketinggian ilmu, beliau telah dilantik menjadi mahaguru di Madrasah Nizhamiah (sebuah universitas yang didirikan oleh perdana menteri) di Baghdad pada tahun 484 Hijrah. Kemudian beliau dilantik pula sebagai Naib Kanselor di sana. Ia telah mengembara ke beberapa tempat seperti Mekkah,Madinah,Mesir dan Jerusalem untuk berjumpa dengan ulama-ulama di sana untuk mendalami ilmu pengetahuannya yang ada. Dalam pengembaraan, beliau menulis kitab Ihya Ulumuddin yang memberi sumbangan besar kepada masyarakat dan pemikiran manusia dalam semua masalah.

Al-Ghazali menjelaskan dalam otobiografinya mengapa ia meninggalkan karir cemerlang dan beralih ke sufisme. itu, katanya, karena kesadarannya bahwa tidak ada cara untuk pengetahuan tertentu atau keyakinan kebenaran wahyu kecuali melalui sufisme. (ini berarti bahwa bentuk tradisional iman Islam berada dalam kondisi yang sangat kritis pada saat itu.)
Melalui pengalaman religius sendiri, ia bekerja untuk menghidupkan kembali iman Islam dengan merekonstruksi ilmu-ilmu agama atas dasar tasawuf, dan memberikan landasan teoritis untuk yang terakhir di bawah pengaruh filsafat.

Komentar