Bagaimanakah keadaan tangan anda ketika sedang berdoa ? kita telah ketahui bersama bahwa ketika kita berdoa pastilah dengan megangkat kedua telapak tangan dan mengusap kedua muka kita dengan telapak tangan ketika selesai berdoa.
Siapakah yang mengajari anda cara berdoa seprti itu, tentu hanya sekedar meniru-niru saja ketika waktu kecil dan kebawa hingga dewasa.
[caption id="attachment_4495" align="aligncenter" width="461"]
Gambar : orang islam berdoa[/caption]
Namun apakah anda pernahkah atau sudahkah anda menanyakan kenapa kita harus mengangkat kedua ketika berdoa? mungkin jawaban yang paling gampang adalah karena seperti itulah pada dasarnya posisi tangan ketika orang sedang meminta, berdoa sama dengan meminta dan pastinya posisi tangan meminta adalah tangan terbuka atau seperti seseorang yang siap menerima pemberian.
Pada dasarnya mengangkat tangan ketika berdo’a dan dan mengusap wajah sesudahnya bukanlah sekedar tradisi yang tanpa dasar. Keduanya merupakan sunnah Rasulullah saw. sebagaimana termaktub dalam salah satu haditsnya yang diceritakan oleh Ibn Abbas:
[arabic] إذا دعوت الله فادع بباطن كفيك ولا تدع بظهورهما فاذا فرغت فامسح بهما وجهك (رواه ابن ماجه)[/arabic]
Apabila engkau memohon kepada Allah, maka bermohonlah dengan bagian dalam kedua telapak tanganmu, dan jangan dengan bagian luarnya. Dan ketika kamu telah usai, maka usaplah mukamu dengan keduanya.
SEMAKIN TINGGI PERMINTAAN SEMAKIN TINGGI MENGANGKAT TANGAN
Demikian pula keterangan para ulama dari beberapa kitab. Bahkan mereka menganjurkan ketika semakin penting permintaan agar semakin tinggi pula mengangkat tangan. Adapun ukuran mengangkat tangan adalah setinggi kedua belah bahu. Dalam I’anatut Thaibin Juz Dua diterangkan:
[arabic] ورفع يديه الطاهرتين حذو منكبيه ومسح الوجه بهما بعده[/arabic]
Dan diwaktu berdoa disunnahkan mengangkat kedua tangannya yang suci setinggi kedua bahu, dan disunnahkan pula menyapu muka dengan keduanya setelah berdo’a.
Keterangan ini ditambahi oleh keterangan Syaikh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdy dalam Al-Hawasyil Madaniyyah dengan sangat singkat.
[arabic] وغاية الرفع خذو المنكبين الا اذا شتد الأمر[/arabic]
Batas maksimal mengangkat tangan adalah setinggi kedua bahu, kecuali apabila keadaan sudah amat kritis, maka ketika itu bolehlah melewati tinggi kedua bahu.
Akan tetapi, di masa sekarang ini banyak kelompok yang meragukan dan menyangsikan sunnah Rasulullah saw ini. mereka meanyakan kembali tentang keabsahannya. Sungguh hal ini bukanlah sesuatu yang baru karena dulu telah disinggung oleh pengarang kitab al-Futuhatur rabbaniyyah:
[arabic] قال المصنف وردت الاحاديث الكثيرة برفع اليد الى السماء فى كل دعاء من غير حصر ومن ادعى حصرها فقد غلط غلطا فاحشا[/arabic]
Sang pengarang telah berkata bahwa “telah ada hadits-hadits yang tak terbatas banyaknya mengenai mengangkat tangan ke langit ketika berdo’a, barang siapa menganggap itu tidak ada, maka ia telah keliru.
Nah, bagaimana sudah tahu kan bahwa perintah menadahkan tangan ketika berdoa bukanlah tanpa dasar, akan tetapi memang anjuran dari nabi kita Rasulullah SAW.
Credit Nu.or.id
Siapakah yang mengajari anda cara berdoa seprti itu, tentu hanya sekedar meniru-niru saja ketika waktu kecil dan kebawa hingga dewasa.
[caption id="attachment_4495" align="aligncenter" width="461"]
Namun apakah anda pernahkah atau sudahkah anda menanyakan kenapa kita harus mengangkat kedua ketika berdoa? mungkin jawaban yang paling gampang adalah karena seperti itulah pada dasarnya posisi tangan ketika orang sedang meminta, berdoa sama dengan meminta dan pastinya posisi tangan meminta adalah tangan terbuka atau seperti seseorang yang siap menerima pemberian.
Pada dasarnya mengangkat tangan ketika berdo’a dan dan mengusap wajah sesudahnya bukanlah sekedar tradisi yang tanpa dasar. Keduanya merupakan sunnah Rasulullah saw. sebagaimana termaktub dalam salah satu haditsnya yang diceritakan oleh Ibn Abbas:
[arabic] إذا دعوت الله فادع بباطن كفيك ولا تدع بظهورهما فاذا فرغت فامسح بهما وجهك (رواه ابن ماجه)[/arabic]
Apabila engkau memohon kepada Allah, maka bermohonlah dengan bagian dalam kedua telapak tanganmu, dan jangan dengan bagian luarnya. Dan ketika kamu telah usai, maka usaplah mukamu dengan keduanya.
SEMAKIN TINGGI PERMINTAAN SEMAKIN TINGGI MENGANGKAT TANGAN
Demikian pula keterangan para ulama dari beberapa kitab. Bahkan mereka menganjurkan ketika semakin penting permintaan agar semakin tinggi pula mengangkat tangan. Adapun ukuran mengangkat tangan adalah setinggi kedua belah bahu. Dalam I’anatut Thaibin Juz Dua diterangkan:
[arabic] ورفع يديه الطاهرتين حذو منكبيه ومسح الوجه بهما بعده[/arabic]
Dan diwaktu berdoa disunnahkan mengangkat kedua tangannya yang suci setinggi kedua bahu, dan disunnahkan pula menyapu muka dengan keduanya setelah berdo’a.
Keterangan ini ditambahi oleh keterangan Syaikh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdy dalam Al-Hawasyil Madaniyyah dengan sangat singkat.
[arabic] وغاية الرفع خذو المنكبين الا اذا شتد الأمر[/arabic]
Batas maksimal mengangkat tangan adalah setinggi kedua bahu, kecuali apabila keadaan sudah amat kritis, maka ketika itu bolehlah melewati tinggi kedua bahu.
Akan tetapi, di masa sekarang ini banyak kelompok yang meragukan dan menyangsikan sunnah Rasulullah saw ini. mereka meanyakan kembali tentang keabsahannya. Sungguh hal ini bukanlah sesuatu yang baru karena dulu telah disinggung oleh pengarang kitab al-Futuhatur rabbaniyyah:
[arabic] قال المصنف وردت الاحاديث الكثيرة برفع اليد الى السماء فى كل دعاء من غير حصر ومن ادعى حصرها فقد غلط غلطا فاحشا[/arabic]
Sang pengarang telah berkata bahwa “telah ada hadits-hadits yang tak terbatas banyaknya mengenai mengangkat tangan ke langit ketika berdo’a, barang siapa menganggap itu tidak ada, maka ia telah keliru.
Nah, bagaimana sudah tahu kan bahwa perintah menadahkan tangan ketika berdoa bukanlah tanpa dasar, akan tetapi memang anjuran dari nabi kita Rasulullah SAW.
Credit Nu.or.id
Bismillah. maaf sebelumnya. dalam artikel di atas, hanya ada satu hadits tanpa perawi dan tanpa keterangan derajat haditsnya. bukankah hal tersebut sangat penting untuk dicantumkan.
BalasHapusKarena setahu saya, jika ada hadits yg berlawanan dengan yg shahih yg diriwayatkan oleh para perawi yg tsiqah, maka hadits yg berlawanan tadi tidak bisa di jadikan hujah.
Kemudian dalam artikel di atas, keterangan-keterangan yang diambil sebagai dalil adalah berdasarkan para pengarang buku, bukan berdasarkan hadits yang sahih.
Padahal kita tahu bahwa meskipun ada sekian banyak hadits, jika hadits tersebut dhaif, munkar, maudhu, dst maka hadits2 tsb tidak bisa dijadikan dalil. wallahu'alam.
Bismillaah
BalasHapusAssalaamu'alaikum
Saya setuju dengan pendapat akhwat Novi. Hadits tsb tidak mencantumkan perawi dan sanadnya. Sehingga bahasan menjadi tidak lengkap.
Demikian juga dengan pendapat yang tidak setuju ttg masalah tsb di atas sangatlah minim.
Sebaiknya pemuatan artikelnya yg seimbang antara pro dan kontra.
Dan yang lebih utama adalah dalil-dalil yg pro-kontra sebaiknya dibahas.
Menurut saya artikel ini belum bisa menyampaikan kebenaran.
Walloohu 'alam