Sumber-Sumber Hukum Agama Islam

2. SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM

Sumber-sumber yang dipakai acuan dalam istimbath hukum Islam adalah: Kitab (Al-Qur’an), As-sunnah (Al-hadits), Ijma’, Qiyas, Ijtihad, Qaul Shahabi, Istihsan dsb.

Terdapat beberapa masalah yang berkaitan dengan sumber-sumber hukum Islam di atas.

a.         Bahwa sumber-sumber hukum Islam di atas tidaklah menjadi kesepakatan para ulama. Tetapi ada sebagian yang diperselisihkan , baik dalam hal pengertiannya maupun dalam hal dijadikannya sebagai sumber hokum Islam.

b.        Bahwa sebagian dari sumber-sumber hokum Islam di atas ada yang bersifat naqli yaitu Al-Quran, As-sunnah, Ijma’, Qaul Shahabi. Dan ada juga yang bersifat Aqli yaitu Qiyas, Istihsan, Ijtihad

Dari pada itu, dalil-dalil naqli masih memerlukan akal untuk memahami dan mengambil hokum dari padanya. Begitu juga halnya dalil akal ia tidak diperlukan oleh syari’at kecuali jika ia bersandar kepada naqli. Karena akal saja tidak mampu mengetahui hokum-hukum syari’at (Syarmin S., 1993: 23).

2.1 Al-Qur’an

2.1.1 Pengertian Al-Qur’an

Mengenai asal kata “Al-Qur’an” para ulama berselisih pendapat. Menurut Asy-Syafi’i kata “ Al-Qur’an” utu ditulis dan dibaca tanpa hamzah (Al-Qur’an). Ia tidak berasal dari suatu kata, tetapi ia merupakan sebutan khusus bagi kitab suci yang diberikan kepada Muhammad SAW.

Menurut Al-Asy-‘ari, kata “ Al-Qur’an” diambil dari kata “qarana” yang berarti menggabungkan. Karena Al-Qur’an merupakan gabungan ayat-ayat dan surat-surat.

Menurut istilah, Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada rasul-Nya. Muhammad SAW dengan bahasa arab, yang diriwayatkan secara mutawatir dan tertulis dalam mushaf (Syarmin S., 1993: 27).

2.1.2 Nama-nama Al-Qur’an

Nama bagi al-Qur’an seperti yang disebutkannya sendiri bermacam-macam dan masing-masing nama itu mengandung arti makna tertentu, antara lain:

  1. Al-kitab artinya buku atau tulisan. Arti ini untuk mengingatkan kaum muslimin supaya membukukannya menjadi buku.

  2. Al-Qur’an artinya bacaan. Arti ini untuk mengingatkan supaya ia dipelihara/dihafal bacaannya diluar kepala.

  3. Al-Furqan artinya pemisah. Arti ini mengungatkan supaya dalam mencari garis pemisah antara kebenaran dan kebathilan, yang baik dan buruk haruslah daripadanya atau mempunyai rujukan padanya.

  4. Huda artinya petunjuk. Arti ini mengingatkan bahwa petunjuk tentang kebenaran hanyalah petunjuk yang diberikannya atau yang mempunyai rujukan kepadanya,

  5. Al-Zikr artinya ingat. Arti ini menunjukkan bahwa ia berisikan peringatan dan agar selalu diingat tuntunannya dalam melakukan setiap tindakan.


Dia adalah klamullah yang diturunkan kepada Nabi SAW. Dalam bahasa arab, riwayatnya mutawir. Oleh karena itu terjemahan Al-Qur’an tidak disebut Al-Qur’an dan orang yang mengingkarinya baik secara keseluruhan maupun bagian rinciannya, dipandang kafir ( Sulaiman A., 1995: 9)

Dia merupakan sendi fundamental dan rujukan pertama bagi semua dalil dan hukum syari’at, merupakan Undang-Undang Dasar, sumber dari segala sumber dan dasar dari semua dasar. Hal ini sudah merupakan kesepakatan seluruh Ulama Islam. Dan Al-Qur’anulkarim berfungsi sebagai pembeda untuk membedakan dan memilih antara yang benar dan yang salah, antara yang hak dan bathil ( Abdurrahman, 1993: 35).

2.1.3 Kekhususan dan Keistimewaan Al-Qur’an

Al-Qur’an mempunyai kekhususan dan keistimewaan dari kitab-kitab lainnya. Apabila ada sesuatu yang bertentangan dengan keistimewaan Al-Qur’an nanti, maka ia tidak bias dikategorikan sebagai Al-Qur’an. Kekhususan dan keistimewaan Al- Qur’an tersebut adalah sebagai berikut:

a.         Bahwa Al-Qur’an, baik kalimat dan maknanya, datang dari Allah SWT dan rasul SAW dalam hal ini tidak lain hanyalah menyampaikan saja kepada manusia. Ia diturunkan Allah melalui malaikat Jibril, dengan kalimat yang sama persis dengan yang ada sekarang ini. Oleh karena itu, tidak boleh kita meriwayatkan dengan maknanya. Artinya sama pengertiannya, tetapi kalimatnya berbeda. Sebab yang demikian, bukanlah Al-Qur’an namanya. Lantaran itu semua, maka Al-Qur’an berbeda dengan hadits baik hadits qudsi maupum hadits nabawi. Sebab, semua hadits yang dating dari Rasulullah SAW, baik lafadz maupun susunan kalimatnya yang disimpulkan dari berbagai makna yang diilhamkan dan diwahyukan Allah pada beliau. Lafadz dan makna Al-Qur’an dating dari Allah, sedangkan hadits maknanya dari Allah, tapi lafadznya dari Rasullullah SAW.

b.        Al-Qur’an diturunkan kepada rasulullah SAW dengan lafadz dan ushlub (gaya bahasa) bahasa arab. Dalam hal ini Allah berfirman:

Artinya: “ sesungguhnya kami jadikan Al-Qur’an dalam bahasa arab supaya  kamu memahaminya”. (QS. Az-zhuhruf: 3)

Dan tidaklah tercela jika dalam kearaban Al-Qur’an terkandung sebagian lafadz-lafadz yang jarang adanya(asing), yang oleh sebagian ulama dipandang bukan bahasa arab tetapi hal ini tidaklah membuat cacatnya sebagai bahasa arab. Sepeti lafadz”   ” bagi lobang dan “     ” bagi singa. Sebab, lafadz-lafadz ini disamping jarang disebut juga telah dimasukkan bangsa arab kedalam bahasa arab dan bahasa bahasa tersebut diambil dari sebagian suku oleh sebagian suku arab lainnya.

c.         Bahwa Al-qur’an telah diriwayatkan dengan cara mutawatir yang memfaedahkan ilmu yang iath’I (pasti)dan yakin lantaran periwayatan dan ketetapannya yang sah.ia telah dipelihara dalam berbagai hati dan dada, bukan sekedar dalam mushhaf dan tulisan-tulisan saja. Ia telah dipindahkan kepada kaum muslimin diberbagai Negara dan berbagai bangsa, tanpa ada perbedaan dan keraguan diantara mereka dan tanpa ada perubahan dan pergantian (Syarmin S., 1993: 28-32).

Allah berfirman:



Artinya: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.

2.1.4 Kemu’jizatan Al-Qur’an

Telah dijelaskan bahwa Al-Qur’an adalah datang dari Allah yang dapat melemahkan kemampuan manusia untuk menciptakan sesuatu ayat yang serupa dengannya.

Sesungguhnya mu’jizat Nabi SAW adalah Al-Qur’an, yaitu mu’jizat maknawi, bukan mu’jizat materi yang dapat di indra, seperti mu’jizat Nabi Isa yang dapat menyembuhkan buta dan penyakit sopak, nabi Musa yang dapat merubah tongkat menjadi ular berjalan. Sehingga  dengan demikian mu’jizat beliau tetap berlaku sampai akhir zaman, yang membawa bukti-bukti kebenaran akan kerasulan beliau sejak dahulu hingga hari kiamat nanti, yaitu sesuatu yang cocok dan sesuai dengan keumuman dan keabadian risalah. Meskipun ada juga mu’jizat Nabi SAW yang berupa sesuatu yang diindra, tetapi tidaklah dapat disaksikan kecuali orang-orang yang ada pada masa beliau yang turut menyaksikannya. Orang-orang yang ada sesudah masa beliau tidaklah mengetahui kecuali hanya mendengar saja. Maka itu bukti mu’jizat yang kekal. Yaitu mu’jizat yang selalu disaksikan manusia sampai hari kiamat.

Allah berfirman :

Artinya :”Dan orang-orang kafir mekkah berkata :’Mengapa tidak menurunkan  kepadanya mu’jizat-mu’jizat dari tuhannya ?” Katakanlah :’Sesungguhnya mu’jizat-mu’jizat iru terserah kepada Allah. Dan sesungguhnya aku hanya seorang pemberi peringatan yang nyata”. (QS. Al Ankabut : 50)

(Syarmin S., 1993: 35-37).

2.1.5 Segi-Segi Kemu’jizatan Al-Qur’an

Berikut ini akan kami kemukakan sebagian segi-segi kemu’jizatan Al-Qur’an :

  1. kebalaghoan dan kefashahan Al-Qur’an amat tinggi. Ia menghimpun aturan-aturan yang menakjubkan dan mengandung makna-makna yang cukup tinggi serta makna yang sangat kuat dalam mempengaruhi jiwa. Mudah dihafal, ringan dibaca. Mengandung berbagai bentuk ungkapan menurut tempat dan keadaan. Oleh karena itu, ayat-ayat makiyah pendek-pendek, mengandung ajaran aqidah dan keimanan. Sedang ayat-ayat madaniyah umumnya panjang-panjang, yang menjelaskan berbagai hokum peraturan, keras dalam mempertakuti dan mengancam serta menyenangkan dalam mendorong untuk melaksanakan suatu perbuatan.

  2. hukum dan makna-maknanya teratur, saling merangkai satu sama lain. Oleh karena itu tidak ada pertentangan satu makna atas satu hokum dengan makna atau hokum yang lainnya atau satu ayat dengan ayat yang lain. Seandainya ia tidak datang dari Allah, pasti akan didapati pertentangan yang cukup banyak.

  3. Al-Qur’an memberitakan tentang peristiwa (kejadian) yang telah lalu pada kurun masa yang telah lewat.

  4. Al-Qur’an memberitakan perkara-perkara yang akan datang, seperti :


–          Al-Qur’an telah menjanjikan kemenangan kepada kaum Muslimin dalam perang badar Kubra.

–          Al-Qur’an menjajikan kepada kepada kaum Muslimin tentang terbukanya kota Mekkah

–          Al-Qur’an telah memberitakan tentang kehinaan yang akan menimpa kaum Yahudi pada segala zaman sampai datangnya hari Qiamat.

  1. Al-Qur’an mengandung berbagai rahasia alam dan hakekat ala mini, yang tidak henti-hentinya ilmu mengungkapkan kepada kita setiap hari dengan penemuan-penemuan baru yang membuktikan bahwa Al-Qur’an ini datang dari sisi Allah, yang meliputi ilmu segaa sesuatu.

  2. Al-Qur’an mengandung syari’at islam yang hokum-hukumnya mengatur berbagai hubungan manusia, yang merupakan aturan yang luas dan tegas, elastic dan cocok disegala tempat, untuk merealisir kemaslahatan dan kenaikan manusia.

  3. Al-Qur’an tetap dan kekal, terpelihara dan tidak pernah berubah, karena selalu dibaca baik dengan cara terang-terangan atau tersembunyi (Syarmin S., 1993: 38-50).


2.1.6 Petunjuk Al-Qur’an Kepada Maksudnya

Ada 4 prinsip dasar yang umum dalam memahami makna Al-Qur’an, yaitu:

a. Qur’an merupakan keseluruhan syari’at dan sendinya yang fundamental. Setiap orang yang ingin mencapai hakekat agama dan    dasar-dasar syari’at, haruslah menempatkan Al-Qur’an sebagai pusat/ sumbuh tempat berputarnya semua dalil yang lain dan sunnah sebagai pembantu dalam memahaminya demikian juga pendapat imam-imam terdahulu dan salafushshalihin yang lalu.

b. Sebagaian besar ayat-ayat hukum turun karena ada sebab yang menghendaki penjelasannya. Ada dua alasan mengapa harus mengetahuinya:

1)      faktor untuk mengetahui kei’jazan Al-Qur’an itu bertumpu pada pengetahuan tentang tuntutan situasi, baik situasi pembicaraan orang yang berbicara maupun orang yang menjadi sasaran pembicaraan, baik secara alternative ataupun kumulatif sekaligus.

2)      kejahilan akan sebab-sebab nujul dapat menjerumuskan ke jurang keraguan dan menempatkan nash yang zhohir ke tempat ijmal, sehingga terjadilah perbedaan pendapat.

c. Setiap berita kejadian masa lalu yang diungkapkan Al-Qur’an, jika terjadi penolakannya baik sebelum atau sesudahnya, maka penolakan tersebut menunjukkan secara pasti bahwa isi berita itu sudah dibatalkan.

Diantara contohnya ialah ayat yang berbunyi:

Artinya: “ketika mereka mengatakan Allah tidak pernah menurunkan sesuatu kepada manusia”.

Kemudian diiringi oleh firman Allah:



Artinya: “ katakan kepada mereka siapakah yang menurunkan kitab yang dibawa oleh Musa untuk menjadi cahaya dan petunjuk bagi manusia”.

  1. Kebanyakan hukumhukum yang diberitahukan oleh Al-Qur’anbersifat kully ( pokokyang berdaya cukup luas) tidak rinci ( disebutkan setiap peristiwa, objektif) seperti terungkap dari penelitian. Oleh karena itu diperlukan penjelasan dari sunnah rosul karena memang kebanyakan sunnah merupakan penjelasan bagi Al-Qur’an (Sulaiman A., 1995: 14-19).


2.2 HADISTS

2.2.1 Pengertian Hadist

Menurut bahasa hadis memiliki beberapa arti, yaitu :

  1. Jadid yang berarti dekat.

  2. Khabar yang berarti berita atau warta.

  3. Qarib yang berarti dekat.


Dari ketiga makna hadists tersebut, yang memiliki makna paling dekat dengan hadists dalam islam adalah khabar. Menurut istilah , hadists juga memiliki beberapa makna yang berbeda yang disebabkan oleh perbedaan pandangan para ulama.

Menurut ahli hadist, hadists adalah semua yang datang dari Nabi saw yang berupa ucapan, perbuatan, ataupun taqrir beliau. Sedangkan menurut ahli ushul segala pekataan Rosul, perbuatan dan taqrir beliau, yang bisa bisa dijadikan dalil bagi hukum syar’i.

Berdasarkan pengertian hadists menurut ahli ushul, maka hadists dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu :

  1. hadists qouliyah : adalah hadists yang berupa perkataan

  2. hadists fi’liyah : adalah hadists yang berupa perbuatan

  3. hadists taqririyah : adalah ketetapan atau persetujuan rasulullah terhadap apa saja yang muncul dari tindakan sahabat beliau.


Sedangkan perkataan dan perkataan Nabi saw yang tidak termasuk hadists dapat dijadikan sebagai dalil/hukum, kecuali yang berkaitan dengan syariat dan merupakan petunjuk bagi umat beliau.

Berikut ini adalah perbuatan nabi saw yang tidak termasuk hadists.

  1. Segala yang timbul dari nabi saw karena didorong oleh tabiat kemanusiaannya atau kebiasaan kaumnya.

  2. Segala sesuatu yang berasal dari nabi saw karena keinginan beliau mencoba hal-hal duniawi.

  3. Segala yang telah ditunjukkan dalil bahwa itu adalah kekhususan rasulullah.


2.2.2 Meriwayatkan Hadists Dengan Makna

Meriwayatkan hadists berbeda dengan meriwayatkan Al-Qur’an, beberapa hadists dapat diriwayatkan dengan makna. Artinya meskipun sedikit berbeda pelafalan dan pengucapannya asalkan memiliki arti yang sama maka dihalalkan.

Disamping itu ada juga hadists yang bersifat taabudi (tidak boleh dirubah) dalam pelafalannya, seperti hadists tentang adzan, tasyahhud, dan sebagainya.

2.2.3 Kehujjahan Al-Hadists

Hadists adalah dalil kedua yang digunakan sebagai acuan beristimbat hukum syari’ah sesudah Al-Qur’an. Banyak dalil yang menegaskan kehujjahannya, diantaranya:

a.       Ayat-ayat Al-Qur’an yang  memerintahkan untuk taat kepada rasulullah.

Artinya : “taatlah kamu sekalian kepada Allah dan rasul(Nya) dan Ulil Amri diantara kamu…..”(An-nisa :59)


Artinya : “apa yang diberikan R asul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tingggalkanlah…..”(Al-Mujadilah : 13)

b.      Al-Qur’an sebagai undang-undang dasar bagi hukum wadhi’I yang menetapkan berbagai ketetapan secara global. Seperti firman Allah:

Artinya: “kerjakanlah shalat dan berikanlah zakat…”




Artinya: “telah diwajibkan atas kamu berpuasa…”

Hadist juga merupakan penjelasan daripada ketetapan-ketetapan Allah yang bersifat umum.

Al-Auzai berkata : “Al-Qur’an itu berhajat kepada hadists, dan hadists berhajat kepada Al-Qur’an.”

Sebagai contoh, Al-hadists Nabawiyah telah menjelaskan jumlah rekaatshalat, waktunya, syarat dan rukun-rukunnya, serta tata caranya.

c.       Al-Qur’an telah menetapkan bahwa perkataan rasul Allah saw hakekatnya datang dari sisi Allah juga. Allah berfirman :

Artinya : “dan tiadalah yang diucapkan (Muhammad) itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tidak lain ada;lah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (Al-Najm : 3-4)

Itulah dalil-dalil yang menerangkan bahwa hadists datang dari sisi Allah dan wajib diamalkan.

Imam Syafi’i berkata : “apabila rasul menjelaskan ayat dalam Al-Qur’an, maka penjelasan itu sebenarnya datang dari Allah. Dan Allah menetapkan hukum dalam Al-Qur’an menurut penjelasan rasul-Nya. Orang islam tidak boleh keluar dari kitab (Al-Qur’an). Begitu juga tidak boleh keluar daripenjelasan yang dijelaskan oleh rasul-Nya. Sebab nash atau penjelasan itu datangnya dari Allah juga.

2.2.4 Kedudukan Hadists Dalam Beristidlal

Sebagai dasar hukum bagi kaum muslimin, kedudukan hadists berada di urutan kedua setelah Al-Qur’an, alasannya adalah :

  1. Bahwa Al-Qur’an adalah qoth’iyatus tsubut, sedangkan hadist dhoniyatus tsubut dalam banyak hal. Maka dalil qath’i harus didahulukan atas dalil dhonni

  2. Bahwa hadists adalah penjelasan Al-Qur’an, maka sudah seharusnya jika penjelasan ada dibelakang hal yang dijelaskan.

  3. Muadz bin Jabal telah meriwayatkan bahwa rasulullah saw ketika mengutusnya ke Yaman bertanya kepadanya. “apa yang kau perbuat jika dihadapkan pada suatu perkara?” Ia berkata, “aku putuskan dengan hukum yang ada dalam Al-Qur’an.” Nabi bertanya lagi, “jika tidak ada hukumnya dalam Al-Qur’an?” Ia menjawab, “maka akan aku putuskan berdasarkan sunah rasulullah.” Nabi beratanya lagi, “jika tidak ada hukumnya dalam As-sunnah?” Ia menjawab, “aku akan berijtihad dengan pendapatku.” Lalu Muadz berkata: “kemudian Rasulullah saw menepuk dadaku dan berkata, “segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufik pada utusan rasulNya, demi keridhaan allah dan RasulNya.


2.2.5 Hubungan Antara Hukum Qur’aany Dan Hukum Sunniyah

Ada tiga macam hubungan antara hukum dalam hadists dan hukaum dalam al-quran.

a.       Hukum-hukum yang serasi atau sesuai dengan hukum yang ada dalam al-quran, dalam hal ini hadists hanya berfungsi sebagai penguat atas hukum yang sudah ada dalam al-quran.

b.      Hukum-hukum yang menjelaskan apa yang ada dalam al-quran, dengan cara:

1)      Memerinci yang mujmal, seperti seperti amaliya Rasulullah tentang tata cara shalat dan sebagainya.

2)      Mentakhsis atau memberi perincian bagi hukum yang umum.

2.3 Ijtihad

2.3.1 Pengertian Ijtihad

Menurut bahasa, ijtihad berarti Al-jahd atau al-juhd yang berarti la-masyaqat (kesulitan dan kesusahan) dan akth-thaqat (kesanggupan dan kemampuan).

kata Ijtihad “pengerahan segala kemampuan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit.” Atas dasar ini maka tidak tepat apabila kata “ijtihad” dipergunakan untuk melakukan sesuatu yang mudah/ringan. Ijtihad adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang.

Pengertian ijtihad menurut bahasa ini ada relevansinya dengan pengertian ijtihad menurut istilah, dimana untuk melakukannya diperlukan beberapa persyaratan yang karenanya tidak mungkin pekerjaan itu (ijtihad) dilakukan sembarang orang dan pada perkembangan selanjutnya, diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya hanya dilakukan para ahli agama Islam.

Di  sisi lain ada pengertian ijthad yang telah digunakan para sahabat Nabi. Mereka memberikan batasan bahwa ijtihad adalah “penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat pada Kitab-u ‘l-Lah dan Sunnah Rasul, baik yang terdekat itu diperoleh dari nash -yang terkenal dengan qiyas (ma’qul nash), atau yang terdekat itu diperoleh dari maksud dan tujuan umum dari hikmah syari’ah- yang terkenal dengan “mashlahat.”

Dalam kaitan pengertian ijtihad menurut istilah, ada dua kelompok ahli ushul flqh (ushuliyyin) -kelompok mayoritas dan kelompok minoritas- yang mengemukakan rumusan definisi. Dalam tulisan ini hanya akan diungkapkan pengertian ijtihad menurut rumusan ushuliyyin dari kelompok mayoritas.

Menurut mereka, ijtihad adalah pengerahan segenap kesanggupan dari seorang ahli fxqih atau mujtahid untuk memperoleh pengertian tingkat dhann terhadap sesuatu hukum syara’ (hukum Islam).

2.3.2 Tujuan dan Fungsi Ijtihad

Tujuan ijtihad adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu. Supaya dalam mengembangkan operasionalisasi ajaran islam sesuai dengan dasar asasinya. Khususnya hal-hal yang berkaitan dengan hukum, sehingga tidak selalu menggantungkan diri pada sabda Nabi saw yang ternyata tidak ditemukan, padahal situasi dan kondisi yang terus berubah menuntut sikap yang berbeda pula, supaya bisa mengistinbathkan hukum-hukum secara baik dan benar sesuai dengan yang dikehendaki oleh Syari’i itu sendiri dan agar hukum-hukum hasil istinbath itu tidak bersifat statis sehingga hasilnya selalu aktual  dan dapat diamalkan sesuai dengan perkembangan zaman yang selalu menuntutnya.

Ijtihad berfungsi sebagai salah satu alat penentu hukum segala persoalan baru karena adanya perubahan yang terus bergulir, sebagai sumber modernisasi hukum dalam islam sebagai pengejawentahan Islam rahmatan lil ‘alamin, sebagai salah satu system berfikir ilmiah yang islami, sebagai salah satu penopang budi daya kreativitas manusia. Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detil oleh Al Quran maupun Al Hadist. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan modern. Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan baru dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari. Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau Al Hadits itu. Namun jika persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al Quran dan Al Hadist.

Seperti itulah fungsi ijtihad sebagai salah satu alat penggerak, sebab tanpa ijtihad sumber hukum islam akan menjadi stagnan dan statis. Maka dengan menempatkan ijtihad pada posisi yang sebenarnya, hukum islam akan tetap memancarkan sinar kemanfaatannya yang tak akan bisa ditemui pada aturan hukum keagamaan lainnya.

2.3.3 Klasifikasi Ijtihad

a.       Al-Ijtihad al-Bayaniy yaitu menjelaskan hukum syara’ yang berdasarkan kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits dalam suatu perkara yang terjadi. Adalah keputusan bersama yang dilakukan oleh para ulama dengan cara ijtihad untuk kemudian dirundingkan dan disepakati. Hasil dari ijma adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.

b.      Al-Ijtihad al-Qiyasi yaitu menggali hukum syara’ karena adanya suatu kasus baru yang kepastian ketentuan hukumnya tidak ada dalam nash. Hal ini dilakukan dengan menggunakan teori qiyas/analogis. Qiyas artinya menggabungkan atau menyamakan artinya menetapkan suatu hukum suatu perkara yang baru yang belum ada pada masa sebelumnya namun memiliki kesamaan dalah sebab, manfaat, bahaya dan berbagai aspek dengan perkara terdahulu sehingga dihukumi sama. Dalam Islam, Qiyas sifatnya darurat, bila memang terdapat hal hal yang ternyata belum ditetapkan pada masa-masa sebelumnya

c.       Al-Ijtihad al-Istishlahy, beberapa definisinya adalah fatwa yang dikeluarkan oleh seorang fâqih (ahli fikih) hanya karena dia merasa hal itu adalah benar, argumentasi dalam pikiran seorang fâqih tanpa bisa diekspresikan secara lisan olehnya, mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima untuk maslahat orang banyak, tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan dan tindakan menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap perkara yang ada sebelumnya.

2.3.4 Objek Ijtihad

Objek ijtihad adalah hukum syara’ yang bersifat ‘amaliyah yang tidak ditemukan nash qath’i (al-Qur’an dan Hadits) di dalamnya (al-hukmu asy-syar’iy al-‘amaly laisa fihi dalilun qath’iy). Terlepas masalah itu bersifat ‘Ubudiyah , Furuiyyah atau Ta’aqqudiyah selagi tidak adanya nash qath’iyud dilalah (yang benar-benar menunjukkan pada status dalam syara’)  maka itu adalah medan lahan seorang mujtahid dengan berbagai penguasaan disiplin ilmu guna menghasilkan natijah ijtihad yang diharapkan benar sesuai dengan Syaari’.

2.4 I J M A ’

2.4.1 Definisi Ijma’

Menurut bahasa, ijma’ mempunyai dua arti, yaitu :

a.       Kesepakatan

b.      Kebulatan tekad atau niat.

Dari memperhatikan definisi diatas, maka fahamlah kita bahwa tidak dinamakan ijma’ jika tidak terdapat padanya. Unsur-unsur berikut ini:

a.       Kesepakatan para mujtahid.

b.      Ijma’ harus merupakan hasil kesepakatan seluruh mujtahid

c.       Hendaknya kesepakatan itu berasal dari seluruh kesepakatan mujtahid yang ada pada masa terjadinya masalah fiqhiyah dan pembahasan hukumnya itu

d.      Kesepakan para mujtahid itu hendaknya harus terjadi sesudah wafat rosulullah saw.

e.       Kesepakan itu hendaknya dinyatakan masing-masing mujtahid dengan terang dan tegas pada suatu waktu.

f.       Hendaknya kesepakan para mujtahid diatas satu pendapat itu, benar-benar sepakat lahir dan batin, bukan formalnya saja. Betul-betul terjadi kebulatan pendapat atau suatu hukum.

2.4.2 Ijma’ Mayoritas

Jumhur ulama berpendapat bahwa ijma’ tidak terjadi, jika kessepakatan itu oleh mayoritas mujtahid saja, tetapi suara minoritasnya menantang. Hal ini disebabkan karena dalil-dalil yang kuat bagi kehujjan ijma’ adalah untukmemelihara ummat seluruhnya, bukan untuk sebagian besarnya saja.

Ibnu jarir ath-Thabariy, abu bakar ar-razi, abul husain al-khayyatiy dari kalangan ulama mu’tazilah dan ahmad bin hambal dalam salah satu riwayatnya berpendapat bahwa ijma’ dapat terjadi dengan suara mayoritas dapat dijadikan hujah, tetapi tidak dinamakan ijma’.

2.4.3 Ijma Mujtahid Madinah

Imam malik menganggap ijma’ terhadap kesepakatan para mujtahid madinah dari kalangan sahabat saja.  Berdasarkan hadis Rosulullah saw:

Artinya: “sesungguhnya (mujtahid) madinah itu seperti dapur tukang besi, yang dapat menghilangkan kotoran dan karatnya.

Hadis ini menurut beliau menunjukkan bahwa pendapat mujtahid benar tidak mengandung kesalahan. Jumhur ulama berpendapat bahwa tidak bisa terjadi ijma’ dengan kesepakatan mujahid Madinah saja. Sebab mereka adalah seperti mujtahid-mujtahid dari kota islam lainnya. Sedangkan hadist diatas, hanya menunjukkan keberkatan madinah, tidak menunjukkan kemaksuman penduduknya.

2.4.4 Ijma’ Ahlul Bait

Ahlul Bait adalah semua orang yang mempunyai hubungan kerabat dengan nabi saw.

Ulama syi’ah berpendapat bahwa ijma’ dapat terjadi dengan adanya kesepakatan keluarga nabi saw. Jumhur ulama berpendapat bahwa tidak bisa terjadi ijma’ dengan kesepakatan ahli bait saja. Sebab, mereka tidaklah terpelihara dari kesalahan.

2.4.5 Ijma’ Sukuti

Ijma’ dimana masing-masing mujtahid yang berkumpul menyatakan pendapatnya dengan terang dan jelas di sebut ijma’ sharih (ijma’ secara terang-terangan), karena masing-masing mujtahid mengemukakan pendapatnya dengan terang. Ijma’ demikianlah yang diakui kebenarannya oleh jumhur ulama

2.4.6 Ijma’ Murakkab

Jumhur ulama menyatakan bahwa dalil ijthiad pada suatu masa apabila mereka terbagi menjadi dua golongan besar dalam masalah hukum islam, dimana masing-masingnya mempunyai pendapat yang berbeda satu sama lain. Maka, bagi orang yang datang sesudahnya tidak boleh mendatangkan hukum baru yang merupakan hasil ijtihadnya, yang bertentanggan dengan pendapat kedua golongan yang mendahuluinya.

2.4.7 Kemungkinan Terjadinya Ijma’

Ulama Mu’tazilah dan Syiah berpendapat bahwa ijma’ dalam bentuk yang dikemukakan oleh jumhur ulama, tidak mungkin terjadi secara adat kebiasaan. Alasan mereka adalah sebagai berikut:

a.       Bahwa untuk mengetahui kriteria mujtahid adalah sangat sulit. Sebab, tidak adanya ukuran yang di sepakati untuk membedakan antara mujtahid dan yang bukan mujtahid.

b.      Bahwa para mujtahid berserakan tempatnya di berbagai negara dan benua yang berjauhan.

c.       Bahwa ijma’ tidak diperlukan kecuali jika, tidak ada dalil qath’i. artinya bahwa ijma’ itu tidak ada melainkan dari dalil yang dhoni.

Jumhur ulama berpendapat bahwa ijma’ itu mungkin terwujud dan terjadinya, dengan alasan bahwa hal itu secara realiatas pernah terjadi.

2.4.8 Kehujjahan ijma’

Jumhur ulama berpendapat bahwa ijma’ adalah merupakan hujjah yang wajib diamalkan. Semntara itu An Nadhdham. Sebagian ulama Khawarid dan Syi’ah tidak mengakui kehujjahannya.

Dalil-dalil yang mndukung pndapat jumhur adalah:

firman ALLAH :

Artinya: dan barang siapa yang menentang Rosul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah di kuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam….”(An-Nisa’ : 115)

2.4.9 Menyandarkan Ijma’ Kepada Qiyas Atau Kepada Maslahat

Para ulama berselisih pendapat tentang bolehnya menyandarkan ijma’ kepada qiyas. Sebagian mereka berpendapat bahwa tidak ada kemaslahatan sama sekali menyandarkan ijma’ kepada qiyas sebab, kehujjahan qiyas tidak disepakati para ulama.

Sebagian ulama telah mengemukakan sebagian contoh ijma’ yang ditegakkan diatas masalahah mursalah, yaitu ijma’ sahabat tentang pengumpulan al-Quran dalam satu mushaf, sesudah Abu Bakar meragukan hal itu.

Dari memperhatikan keterangan diatas maka dapat difahamkan bahwa kesepakatan mereka menghimpun al-Quran adalah berdasarkan masalahat yang telah dijelaskan oleh Umar ra.

2.4.10 Penaskhan Ijma’

Apabila terjadi ijma’ pada suatu masa, maka tidak boleh di batalkan dan dihapus oleh orang-orang yang telah berijma’ kepadanya itu sebab ijma’ mereka yang pertama menjadi hujjah syariah qath’iah, yang wajib mereka amalkan. Dan sebaliknya, tidak boleh mereka langgar.

Pendapat ulama bahwa ijma’ itu terjadi karena suatu kesepakatan para mujtahid dalam masa hidup mereka, bukan ketika mereka sudah mati, namun sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa boleh para mujtahid membetulkan pendapatnya yang telah lalu, jika menurut mereka pendapatnya yang lalu itu terdapat kesalahan.

Dan telah jelas pndapat yang tidak membolehkan perubahan hukum yang telah di ijma’I adalah jika ijma’ itu disandarkan kepada kitab al-Quran, sunnah dan qiyas.

2.5 QIYAS

2.5.1 Pengetian Qiyas

Menurut bahasa, Qiyas berarti ” Menyamakan ” sedangkan menurut istilah arti ushul, Qiyas adalah menyamakan hukum dengan perkara lain yang sudah ditetapkan oleh nash.

Qiyas ,sebagaimana yang diamalkan oleh para mujahid adalah mengubungkan hukum suatu perkara dengan hukum perkara yang sudah ditetapkan. sebernarnya pengertian Qiyas syar’i diatas di ambil dan pengertian bahasanya.

Perbedaan di antara dua definisi diatas adalah :

  1. Qiyas pertama merupakan hujj’ah kohiyah yang datang dari sisi Allah SWT untuk mengatahui hukum – hukum yang bukan merupakan yang didatangkan bagi seseorang ( Sulamasul wusul juz IV hal ,2 )

  2. Qiyas yang kedua , ini menegaskan makna Qiyas secara majazi yang merupakan amalan para mujahid. yang di tegaskan untuk mengistimnathkan hukum syara’.


Bedasarkan keterangan diatas maka sebgaian ulama mengatakn bahwa Qiyas itu adalah mengeluarkan hukunl bukan menetapkan hukum.

2.5.2 Rukun – Rukun Qiyas

Dari pengertian difinisi Qiyas di atas, makadapat diartikan Qiyas itu harus terdiri dari empat perkara, yang sekaligus merupakan hukum – hukumnya.

  1. Perkara yang di pakau perbandingan ( persarnaan) yang di sebut ashal (perkara pokok yang terdapat hukumnya dalam nash)

  2. Perkara yang hendak dibandingkan (disamakan) yang disebut furu’ (perkara yang belum ada hukumnya dalam nash.)

  3. Hukum ashat yang hendak menjelaskan persamaan anatara Furu’ perkara Ashal.

  4. Illat yang dipakai dasar penetapan hukum pada perkara ashal dan menyadarkan Furu’ padanya, yang disebut jami’ (Letak persamaan).


Contoh kongkritnya : Allah SWT mengaramkan Khomer dalam Al Qur’an, meufut madzab Hanafi kliomer adaiah perasaan anggur yang dimasak ,tapi sampai lama ,sehingga keluar buihnya.

Ayat – ayat Al Qur’an

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamer, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk.perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”.

“Nabidz” bukanlah anggur, baik dari jenis korma atau gandum dan sebagainya. Memperhatikan ayat di atas, maka nabidz ada ketentuannya tentang halal dan haramnya. Tetapi para ahli ijtihad menghukumi haram dengan cara mengqiyaskan kepada khamer, karena adanya persamaan illat yang ada pada keduanya, yaitu memabukkan.

2.5.3 Dalil – Dalil Kehijjatan Qiyas

  1. Bahwa Syari’at islam datang untuk mengatur kehidupan manusia memelihara hubungan mereka secara khusus maupun yang umum di antara individu masyarakat.

  2. Bahwa Al Qur’an telah mempergunakan Qiyas dalam mencakumkan dan menetapkan hujjah serta menjelaskan berbagai hukum dan menetapkan jika sama ,dan menghilangkan jika berbeda.

  3. Bahwa Al Qur’an telah banyak menyuruh manusia untuk mengambil pelajaran berbagai peristiwa.


2.5.4 Keraguan – Raguan Penolakan Qiyas

An – nadhdham dari Mu’tazilali, Ahluldh – Dhahir dan golongan umat syari’ah berpendapat bahwa Qiyas tidaklah termasuk hujjah dalam syari’at islam. Dasar mereka adalah :

  1. Bahwa Qiyas dalam syari’at doperluakan sebab tidak ada tempat padanya. ini tercantum daiam ayat Al Qur’an


Artinya : “ Dia-lah dzat yang menciptakan apa saja yang ada di bumi, untuk kamu.”

Dalam ayat ini tidak  ada tempat bagi qiyas.

Pendapat yang menyatakan bahwa nash-nash Al_qur’an tidak mendatngkan hokum setiap perkara adalah pendapat yang bertentangan dengan firman Allah.

  1. Bahwa Qiyas ditegakkan diatas dhon pada kejelasan Illat hukum, maka ditetapkan hukum yang dhoni yang artinya tidak berguna sama sekaii.

  2. Bahwa para sahabat mengingkari Qiyas dalam syari’at Islam.

  3. Bahwa Qiyas mengakibatkan perselisihan antara mujahid.


2.5.5 Syarat – syarat Qiyas

  1. Syarat Qiyas Ashat yang ditetapkan oleh Al Qur’an ,seperti keharaman khomer.

  2. Syarat Furu’

  3. Syarat Illat


2.5.6 Tempat belakunya Qiyas

Sebagaian ulama ,diantaranya Imam Asg – Syafi’I berpendapat bahwa Qiyas berlaku pada semua hukum Syari’at terkecuali masalah ibadah karena tidak sah menciptakan ibadah dengan cara menqiyaskan pada ibadah yang sudah ada ketetapannya.

DAFTAR PUSTAKA

Syukur, Syarmin. 1993. Sumber-sumber Hukum Islam. Surabaya: “AL-IKHLAS”

Abdullah, Sulaiman. 1995. Sumber Hukum Islam. Jakarta: Sinar Grafika.

I.Doi, Abdur Rahman. 1993. Shari’ah Kodifikasi Hukum Islam. Jakarta: Rineka   Cipta.

https://ienn4ya.wordpress.com/2010/11/05/sumber-sumber-hukum-islam/

 

Ketika Nabi Muhammad saw. masih hidup, jika ada permasalahan tentang hukum Islam dapat langsung ditanyakan kepada beliau. Beliau memberikan jawaban dengan menyebutkan ayat Al-Qur’an dan jika jawabannya tidak ada dalam Al-Qur’an maka beliau memberikan jawaban dengan penetapan beliau yang disebut Hadits atau Sunnah.

Meskipun Al-Qur’an adalah mu’jizat Nabi Muhammad yang sempurna dan kitab yang paling sempurna, namun bukan berarti bisa menjawab semua permasalahan, demikian juga al-Hadits. Sebab dari waktu ke waktu, masalah-masalah baru yang belum ada pada zaman Nabi akan terus timbul. Rasulullah pun memberi izin kepada para sahabat untuk berijtihad  dengan memberikan contoh bagaimana cara beristinbath dan memberi latihan kepada para sahabat bagaimana cara penarikan hukum dari dalil-dalil agar para ahli hukum Islam setelah beliau dengan potensi yang mereka miliki bisa memecahkan masalah-masalah baru yang sesuai dengan prinsip-prinsip yang sesuai dengan Al-Qur’an dan al-Hadits.

Ketika Rasulullah sudah wafat, apabila para sahabat menemukan masalah baru yang belum jelas hukummya, mereka mencari jawabannya dalam Al-Qur’an. Jika tidak ditemukan jawabannya secara harfiah dalam al-qur’an, maka para sahabat mencarinya dalam koleksi hadits. Dan apabila dari kedua sumber tersebut belum juga ditemukan jawabannya, maka mereka menggunakan daya nalar atau yang disebut dengan Ijtihad.

Ijtihad adalah sebuah konsep yang menggambarkan usaha yang maksimal dalam penalaran untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum sesuatu melalui dalil syara’ (agama).  Dari pengertian ini, dapat diambil kesimpulan bahwa ijihad juga bisa dipandang sebagai salah satu metode untuk menggali hukum Islam. Selain itu karena Allah tidak menjadikan kandungan al-Qur’an berupa materi-materi yudisial yang terbatas  sebagaimna dunia matematika yang tidak memberi kemungkinan inovasi pemikiran kreatif.

Menurut al-Ghazali, ijtihad dalam arti bahasa adalah pencurahan segala daya, usaha, dan penumpahan segala kekuatan untuk menghasilkan sesuatu yang berat atau sulit.

Sumber hukum dalam Islam yang juga dijadikan dasar dalam ber-Ijtihad ada yang disepakati (muttafaq) para ulama dan ada yang masih dipersilisihkan (mukhtalaf). Adapun sumber hukum Islam yang disepakati jumhur ulama adalah Al Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Urutan tersebut juga sudah disepakati para ulama (Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas). Sedangkan sumber hukum Islam yang masih diperselisihkan di kalangan para ulama selain sumber hukum yang empat di atas adalah Istihsan, Maslahah Mursalah, Urf, dan Istishhab. Oleh karena itu, dalam makalah ini kita hanya akan membahas tentang sumber hukum Islam yang sudah disepakati para ulama selain Al-Quran dan Hadits, yaitu Ijma’ dan Qiyas.

A.     IJMA’

1.   Pengertian

Ijma’ menurut bahasa Ijma’ mempunyai dua arti yaitu[1] :

  1. Kesepakatan. Seperti; perkataan:”Jamaal qaumu’ alaa kadza idzaa    itafaqu alaihi. Artinya suatu kaum telah berIjma’ begini, jika mereka sudah sepakat kepadanya.

  2. Kebulatan tekad atau niat seperti firman Allah :


…فَأَجْمِعُوا أَمْرَكُمْ وَشُرَكَاءَكُمْ …


Artinya :”…karena itu bulatkanlah keputusan dan(kumpulkanlah) sekutu-sekutumu….”(yunus: 71)

Pengertian Ijma’ dalam istilah teknis hukum atau istilah syar’i terdapat perbedaan rumusan. Perbedaan itu terletak pada segi siapa yang melakukan kesepakatan itu. Perbedaan rumusan itu dapat dilihat dalm beberapa rumusan atau definisi Ijma’ sebagai berikut:

  • Ø Al-Ghazali merumuskan Ijma’ dengan :


عِبَارَةٌ عَنِ تَّفَاقِ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ خَاصَّةً عَلَى أَمْرٍ مِنَالأُمُوْرِ الدِّيْنِيَّةِ


Kesepakatan umat Muhammad secara khusus atas suatu urusan agama.

Meskipun dalam istilah ini dikhususkan kepada umat Nabi Muhammad, namun mencakup jumlah yang luas yaitu seluruh umat nabi Muhammad atau umat Islam. Pandangan Imam al-Ghazali ini mengikuti pandangan imam Syafi’I yang menetapkan Ijma’ sebagi kesepakatan umat. Hal ini tampaknya didasarkan pada keyakinan bahwa yang terhindar dari kesalahan hanyalah umat secara keseluruhan, buka perorangan. Namun pendapat Imam Syafi’I ini mengalami perubahan dan perkembangan ditangan pengikutnya dikemudian hari.

 

  • Ø Al-Amidi yang juga pengikut Syafi’iyah merumuskan Ijma’ :


الإِجْمَاعُ عِبَارَةٌ عَنِ اتَّفَاقِ جُمْلَةِ اَهْلِ الْحَلِّ وَالْعَقْدِ مِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ فِى عَصْرٍ مِنَ الأَعْصَارِ عَلَ حُكْمِ وَاقِعَةِ مِنَالوَقَائِعِ


Ijma’ adalah kesepakatan sejumlah Ahlul Halli wal ‘Aqd(para ahli yang berkompeten mengurusi umat) dari umat Muhammad pada suatu masa atas hukum suatu kasus.

 

  • Ø Definisi yag berbeda secara substansial adalah apa yng dikemukakan oleh ulama Syi’ah. Mereka tidak menitik beratkan pada kata”semua’’. Tetapi cukup pada kelompok atau beberapa orang asalkan kelompok itu mempunyai wewenang dalam menetapkan hukum. Untuk tujuan ini ulama Syi’ah merumskan definisi Ijma’ sebagai berikut:


إِتِّفَاقُ جَمِيْعِ الْمُجْتَهِدِيْنَ مِنَ الْمُسْ

Kesepakatan suatu komunitas karena kesepakatan mereka dalam menetapkan hukum syara’  

Ulama Syiah tidak mengharuskan kesepakatan menyeluruh dan mencukupkan dengan kesepakatan kelompok, karena menurut mereka kesepakatan kelompok ini bukan untuk menetapkan hukum tersendiri diluar apa yang ditetapkan oleh Qur’an dan Sunnah. Bagi mereka Ijma’ itu hanya untuk menemukan adanya Sunnah  yaitu ucapan atau perbuatan seseorang yang dianggap ma’shum atau terbebas dari dosa yang dalam hal ini, menurut mereka, adalah Nabi Muhammad dan ahlul bait(keturunan Nabi dari Fatimah serta Hasan dan Husein).

 

  • Ø Al-Nazham (Pemuka kelompok Nashamiyah, satu pecahan dari Mu’tazilah) mengemukakan rumusan lain tentang Ijma’. Menurutnya, “setiap perkataan yang hujjahnya tidak dapat dibantah”. Maksudnya adalah “ setiap ucapan atau pendapat yang dapat ditegakkan sebagai hujjah syari’iyah, meskipun ucapan seseorang”.


Rumusan yang kelihatannya tidak sejalan dengan arti lughawi yang mengartikan Ijma’ artinya “kesepakatan” itu kelihatannya merupakan kompromi dan pemaduan antara ketidak setujuan Nazham  untuk menempatkan kesepakataan ahl al-halli wa al-‘aqdi sebagai hujjah dan persetujuannya dengn pendapat ulama yang mengharamkan atau menentang Ijma’.

 

 

2.   Rukun-rukun Ijma’

  • Saat berlangsungnya kejadian yang memerlukan adanya Ijma’ ,terdapat sejumlah orang yang berkualitas mujtahid; kaena kesepakatan ini tidak berarti bila yang sepakat itu hanya seorang. Bila pada suatu masa tidak ada suatu mujtahid sama sekali atau ada tetapi hanya seorang, maka ijma tidak dapat terlaksana secara hukum.

  • Adanya kesepakatan sesama para mujtahid atas hukum syara’ dalam suatu masalah, dengan tidak melihat negeri, jenis dan kelompok mereka. Jadi Ijma’ tidak terbentuk kecuali dengan kesepakatan menyeluruh dari seluruh mujtahid di dunia Islam dari belahan dunia manapun dalam suatu masa.

  • Kesepakatan itu tercapai setelah terlebih dahulu masing-masing mujtahid mengemukakan pendapatnya sebagai hasil dari usaha ijtihadnya, secara terang-terangan, baik pendapatnya itu dikemukakan dalam bentuk ucapan dengan mengemukakan fatwa tentang hukum kejadian itu; atau dalam bentuk perbuatan dengn memutuskan hukum dalam pengadilan dalam kedudukannya sebagai hakim. Penyampaian endapat itu mungkin dalam bentuk perorangan yang kemudian yang hasilnya sama; atau secara bersama-sama dalam suatu majelis yang sesudah bertukar pikiran ternyta terdapat kesamaan pendapat.

  • Kesepakatan itu diwujudkan dalam suatu hukum kepada semua para mujtahid. Jika sebagian besar mujtahid sudah sepakat atas suatu hukum. Apabila ada mujtahid yang tidak setuju meskipun jumlahnya lebih sedikit dari yang setuju maka hukum yang dihasilkan tidak disebut sebagai Ijma’ atau hujjah syar’i yang pasti dan mengikat.


Bila sudah tercapai rukun-rukun diatas yaitu bila telah berkumpul dan bertemu semua mujtahid Muslim dari berbagai negeri,bangsa dan golongan dalam suatu masa sesudah wafatnya Nabi, dihadapkan kepada mereka suatu kasus yang memerlukan putusan hukum, kemudian setiap mujtahid mengemukakan pendapat secara terang-terangan, baik dengan ucapan atau peruatan, secara bersama-sama atau secara terpisah, ternyata pendapat meeka sama terhadap hukumnya, maka hukum yang disepakati itu merupakan hukum syara’ yang wajib diikuti dan mengikat seluruh umat Islam.

3.   Syarat-syarat Ijma’

Pendapat ulama tentang syarat-syarat Ijma’[2]

  • Ø Kuantitas anggota Ijma’


Para ulama sependapat bahwa Ijma’ itu terlaksana karena adanya kesepakatan seluruh ulama mujtahid dan tidak ada perbendaan pendapat diantara mereka. Mereka juga sependapat bahwa yang sepakat itu adalah banyak orang. Namun para ulama berbeda pendapat mengenai berapa jumlah minimal ulama mujtahid untuk terlaksananya suatu Ijma’.

Diantara ulama ada yang menetapkan kehujjahan Ijma’ melalui dalil aqli(akal atau logika), seperti Imam Haramain dan Ulama lain yang sependapat dengannya. Kelompok ini berpendapat bahwa jumlah ulama mutahid untuk terlaksananya Ijma’ adalah jumlah yang mencapai batas muttawatir yang tidak mementingkan bersekongkol untuk berdusta atau melakukan kesalahan. Karena itu disyaratkan untuk melakukan suatu ijma bahwa jumlah mujtahid waktu itu mencapai batas muttawatir, karena jumlah yang berkurang dari itu mungkin mengakibatkan adanya kesalahan, sedangkan kehujjahan Ijma’ adalah karena terhindarnya dari kesalahan.

Disamping itu, ada kelompok lain yang menetapkan kehujjahan Ijma’ hanya berdasarkan dalil naqli (nash). Kelompok ini berbeda elompok dalam hal persyaratan jumlah muttawatir itu untuk sahnya suatu Ijma’. Diantara ulama dari kelompok ini mensyaratkan jumlah yang mencapai ti ngkat muttawatir itu, sedangkan sebagian ulama lainnya tidak mensyaratkannya. Al- Amidi cenderung kepada pendapat yang tidak mensyaratkan jumlah muttawait itu. Pendapat ini juga dipilih ulama Hambali.

Alasan kelompok ulama yang tidak mensyaratkan jumlah muttawatir ialah bahwa kekuatan hujjah Ijma’ hanya dapat ditetapkan dengan dalil naqli, tidak mungkin dengan dalil ‘aqli. Atas dasar ini, maka meskipun jumlah peserta Ijma’ itu kurang dari ukuran muttawatir dapat dikategorian sebagai” umat “ dan “orang-orang mukmin” yang berdasarkan dalil naqli seperti tercantum dalam hadis Nabi diatas . suara mereka terhindar dari kesalahan dan oleh karenannya mempunyai hujjah yang wajib diikuti umat Islam.

 

 

  • Ø Berlalunya masa


a)   Menurut Imam Ahmad Ibn Hambal, Ustadz Abu Bakar ibn Fauroq dan sebagian kecil diantara ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa berlalunya masa atau punahnya peserta ijma merupakan syarat untuk kekuatan hujjah suatu Ijma’.

Kelompok ini mengemukakan argument sebagai berikut:

  • Pernah terjadi pendapat yang menyimpang dari ketentuan hukum yang telah ditetapkan suatu Ijma’. Umpamanya, ummul walad (sahaya perempuan yang telah dihamili majikannya) menurut Ijma’ disamakan kedudukan hukumnya dengan hamba sahaya biasa, sehingga dapat dijual dan tidak merdeka dengan sendirinya dengan kematian tuannya. Atas dasar pendapat Ijma’ itu, Umar ibn khotob memerdekaakan seorang umul walad-nya. Setelah ‘Umar wafat, ‘Ali ibn abi tholib mengemukakan pendapat yang berbeda dengan itu. ‘Ali berpendapat bahwa Umul walad itu berbeda dengan sahaya biasa, yang merdeka dengan sendirinya dengan kematian tuanya. Dengan demikian untuk kepastian suatu Ijma’ harus ditunggu berlalunya masa sehingga wafatny semua mujtahid peserta Ijma’.


 

  • Seandainya ada dua pendapat yang berbeda dari para sahabat, berrarti ada kesepakatan terhadap bolehnya berbeda pendapat, dan kita boleh berpegang terhadap salah satu diantara dua pendapat itu. Jika salah satu kelompok dari para sahabat itu menarik pendapatnya, maka akan terjadi Ijma’. Kalau meningggalkan peserta Ijma’ itu tidak dijadikan syarat, tentu tidak dibenarkan untuk mengikuti salah satu dari dua pendapat yang berbeda itu, karena berarti salah satu diantara dua Ijma’ itu adalah yang salah


 

b)   Menurut jumhur ulama yang terdiri dari kebanyakan pengikut syafi’iyah, Abu hanifah, ulama kalam Asy’ ariyah, dan Mu’tazilah berpendapat bahwa berlalunya masa dan meninggalnya semua peserta Ijma’ bukan syarat untuk kekuatan suatu Ijma’. Bahkan jika terjadi kesepakatan ulama tentang hukum syara’, meskipun baru satu saat, maka telah berlangsung Ijma’.

Jumhur ulama mengemukakan argumentasi sebagai berikut :

  • Dalil kehujahan Ijma’ itu berasal dari al-Qur’an dan Sunah Nabi. Keduanya tidak mewajibkan berlalunya masa.

  • Hakikat Ijma’ itu adalah kesepakatan. Tetapnya kesepakatan itu merupakan pengakuan atas kelangsungan Ijma’. Kekuatan hukum terletak pada kesepakatan itu, bukan pada meningggalnya semua peserta Ijma’.

  • Para tabi’in berhujjah dengan Ijma’ pada masa penghujung generasi sahabat seperti Anas dan lainya. Seandainya diharuskan berlalunya masa bagi kekuatan Ijma’, tentu generasi tabi’in tidak boleh berhujjah dengan Ijma’ sahabat karena saat itu generasi sahabat masih berlangsung (ada yang masih hidup).

  • Mempersyaratkan berlalunya masa bagi kekuatan Ijma’ akan menyebabkan tidak terlaksananya ketentuan hasil Ijma’ itu secara mutlak, padahal ia merupakan ketentuan yang mengikat. Karena itu, maka persyaratan (berlalunya masa) yang membatalkan ketentuan yang telah disepakati Ijma’ menjadi batal dengan sendirinya.


 

4.   Macam-macam Ijma’

Macam-macam Ijma’ bila dilihat dari cara terjadinya ada dua macam, yaitu:

ñ Ijma’ Sharih, yaitu kesepakatan para Mujtahid pada suatu waktu terhadap hukum suatu kejadian. Dilakukan dengan mengemukakan pendapat masing-masing (Mujtahid) secara jelas, kemudian menyepakati salah satunya.

ñ Ijma’Sukuty, adalah pendapat sebagian ulama tentang suatu masalah, yang diketahui oleh para Mujtahid lainnya, tapi mereka diam, tidak menyepakati atau menolak pendapat tersebut secara jelas. Contoh yang banyak terjadi diwaktu sekarang adalah tentang hukum mendonorkan darah.

5.   Kehujjahan Ijma’

Semua hukum yang telah disepakati para Mujtahid umat Islam, pada dasarnya merupakan hukum umat Islam yang diolah oleh para Mujtahid. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi : “Umatku tidak akan berkumpul untuk melakukan kesalahan”. Dan Allah SWT juga memerintahkan di dalam Al-Qur’an untuk taat kepada Ulil Amri diantara umat Islam, sebagaimana perintah kepada kaum beriman untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya.

 

Kehujjahan Ijma’ juga berkaitan erat dengan jenis Ijma’ itu sendiri, yaitu Ijma’ sharih dan Ijma’ sukuty.

a.    Kehujjahan Ijma’ sharih

Para ulama sepakat bahwa hasil Ijma’ sharih merupakan hujjah secara qath’i, wajib mengamalkan/mengikuti dan haram menentangnya. Lebih lanjut, para mujtahid tidak boleh menjadikan hukum masalah ini (yang sudah disepakati) sebagai garapan ijtihad, karena hukumnya sudah ditetapkan secara Ijma’ dengan hukum syar’i yang qath’i dan tidak dapat dihapus (dinasakh).

Hal ini didasarkan pada QS. An-Nisa’ ayat 115 yang artinya:

”Barang siapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali.”

Kehujjahan dalil dari ayat di atas adalah ancaman Allah SWT terhadap mereka yang tidak mengikuti jalannya orang-orang mu’min. Hal itu menunjukkan bahwa jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang tidak beriman itu adalah batil dan haram diikuti. Sebaliknya, jalan yang ditempuh oleh orang-orang mu’min adalah hak dan wajib diikuti.

 

b.    Kehujjahan Ijma’ sukuty

Kehujjahan Ijma’ Sukuty masih diperdebatkan oleh para ulama. Sebagian dari mereka tidak memandang Ijma’ Sukuty sebagai hujjah bahkan tidak mengatakan sebagai Ijma’. Menurut mereka, diamnya sebagian mujtahid itu mungkin saja menyepakati sebagian atau bisa saja tidak sama sekali. Misalnya karena tidak melakukan ijtihad pada satu masalah atau takut mengemukakan pendapatnya sehingga kesepakatan mereka terhadap mujtahid lainnya tidak bisa ditetapkan apakah hal itu qath’i atau dzanni. Jika demikian, tidak bisa dihalalkan adanya kesepakatan dari seluruh mujtahid. Berarti tidak bisa dikatakan Ijma’ ataupun dijadikan sebagai hujjah. mereka ialah pengikut Maliki dan Imam Syafi’i.

Namun sebagian besar golongan Imam Hanafi dan Imam Ahmad bin Hambal memandang Ijma’ Sukuty merupakan hujjah qath’i seperti halnya Ijma’ sharih.  Alasan mereka adalah diamnya sebagian mujtahid utuk menyatakan kesepakatan terhadap pendapat yang dikemukakan oleh sebagian mujtahid lainnya. Sebab jika Ijma’ yang setingkat dengan sharih tidak dapat ditentukan padahal masalah yang dihadapi semakin kompleks, maka tidak mungkin para mujtahid diam saja tanpa melakukan apapun.

 

B.     QIYAS

  1. 1.   Pengertian Qiyas


Secara bahasa (Arab) qiyas berarti ukuran, mengetahui ukuran sesuatu, membandingkan, atau menyamakan sesuatu dengan yang lain.

Secara istilah (terminologi) terdapat beberapa definisi yang dikemukakan para ulama ushul fiqh, sekalipun redaksinya berbeda, tetapi mengandung pengertian yang sama. Diantaranya dikemukakan oleh:

  1. Sadr al-Syari’ah (w.747 H/1346 M, Tokoh Ushul Fiqh Hanafi). Menurutnya Qiyas adalah Memberlakukan hukum asal kepada hukum furu’ disebabkan kesatuan ‘illat yang tidak dapat dicapai melalui pendekatan bahasa saja. Maksudnya, ‘illat yang ada pada satu nash sama dengan ‘illat yang ada pada kasus yang sedang dihadapi seorang mujtahid. Karena kesatuan ‘illat ini, maka hukum dari kasus yang sedang dihadapi disamakan dengan hukum yang ditentukan oleh nash tersebut.

  2. Mayoritas ulama Syafi’iyah mendefinisikan qiyas yaitu Membawa (hukum) yang (belum) diketahui kepada (hukum) yang diketahui dalam rangka menetapkan hukum bagi keduanya, atau meniadakan hukum bagi keduanya, disebabkan sesuatu yang menyatukan keduanya, baik hukum maupun sifat.

  3. Saifuddin al-Amidi mendefinisikan qiyas adalah Mempersamakan ‘illat yang ada pada furu’ dengan ‘illat yang ada pada  asal  yang diistinbatkan dari hukum asal.


Setelah menganalisis beberapa definisi qiyas yang dikemukakan para ulama ushul fiqh klasik tersebut, Wahbah al-Zuhaili medefinisikan qiyas sebagai berikut:

Menyatukan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nash dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh nash, disebabkan kesatuan ‘illat hukum antara keduanya.

 

2.   Operasional Qiyas

Operasional penggunaan qiyas dimulai dengan mengeluarkan hukum yang terdapat pada kasus yang memiliki nash. Cara ini memerlukan kerja nalar yang luar biasa dan tidak cukup hanya dengan pemahaman makna lafadz saja. Selanjutnya, Mujtahid mencari dan meneliti ada tidaknya illat tersebut pada kasus yang tidak ada nashnya. Apabila ternyata ada illat itu, faqih menggunakan ketentuan hukum pada kedua kasus itu berdasarkan illat. Dengan demikian, yang dicari Mujtahid disini adalah illat hukum yang terdapat pada nash (hukum pokok).

Selanjutnya, jika illat tersebut ternyata betul-betul terdapat pada kasus-kasus lain, yang tampak bagi Mujtahid adalah bahwa ketentuan hukum pada kasus-kasus itu adalah satu, yaitu ketentuan hukum yang terdapat pada nash menjalar pada kasus-kasus lain yang tidak ada nash-nya.

Sebagai contoh hukum mengkonsumsi narkotika disamakan dengan hukum meminum khamr. Hukum meminum khamr telah dijelaskan dalam Al Qur’an yaitu hukumnya haram.  Haramnya meminum khamr berdasar illat hukumnya adalah memabukan dan menghilangkan akal. Maka hukum mengkonsumsi narkotika juga haram sebab terdapat illat yang sama dengan meminum khamr.

 

3.   Rukun-rukun Qiyas

Para ushul ulama fiqh meneapkan bahwa rukun qiyas itu ada empat, yaitu

  1. Ashl (pokok), yaitu sesuatu yang sudah ada nash-nya yang dapat dijadikan sebagai dasar untuk meng-qiyas-kan.

  2. Far’u adalah sesuatu yang hukumnya tidak terdapat didalam nash, kemudian hukumnya disamakan dengan Ashl.

  3. Hukmul Ashl yaitu hukum syara’ yang ditetapkan oleh suatu nash. dipakai sebagai hukum asal bagi cabang (al-far’u).

  4. Illat adalah keadaan tertentu yang dipakai bagi hukum ashl, kemudian keadaan tertentu itulah ashl mempunyai suatu hukum. Dan karena hal ini pula, terdapat cabang, sehingga hukum cabang itu disamakan dengan hukum ashl.


 

4.   Syarat-syarat Qiyas

Para ulama ushul fiqh mengemukakan bahwa setiap rukun qiyas yang telah  dipaparkan diatas harus memenuhi syarat-syarat tertentu, sehingga qiyas dijadikan dalil dalam menetapkan hukum.

 

 

Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut;

ü Ashl

Patokan dalam penetapan hukum ada kalanya nash dan ada kalanya Ijma’. Oleh sebab itu, menurut jumhur ulama ushul fiqh, apabila hukum yang ditetapkan berdasarkan nash bisa diqiyaskan, maka hukum yang ditetapkan melalui Ijma’pun boleh diqiyaskan.

Menurut Imam al-Ghazali (450-505 H/805-1111 M) dan Syai’fuddin Al-Amidi (keduanya ahli ushul fiqh Syafi’iyyah), syarat-syarat ashl adalah :

a)      Ashl itu adalah hukum yang telah tetap dan tidak mengandung kemungkinan di-nash-kan (dibatalkan)

b)      Hukum itu ditetapkan berdasarkan syara’

c)      Ashl itu bukan merupakan far’u dari ashl lainnya.

d)     Dalil ang menetapkan ‘illat pada ashl itu adalah dalil khusus, tidak bersifat umum.

e)      Ashl itu tidak berubah setelah dilakukan qiyas, dan

f)       Hukum asli itu tidak keluar dari kaidah-kaidah qiyas

ü Hukum al-ashl

Hukum al-ashl adalah hukum yang terdapat pada suatu wadah maqis ‘alaih yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash dan hukum itu pula yang akan diberlakukan pada furu’.

 

Syarat-syarat hukum ashal adalah :

  1. Hukum ashal itu hendaklah hukum syara’ yang amali yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Hal ini diperlukan karena yang akan ditetapkan itu adalah hukum syara’, sedang sandaran hukum syara’ itu adalah nash.


Atas dasar yang demikian, maka jumhur ulama berpendapat bahwa Ijma’ tidak boleh menjadi sandaran qiyas. Mereka menyatakan bahwa hukum yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan, tidak mempunyai sandaran, selain dari kesepakatan para mujtahid. Karenanya hukum yang ditetapkan secara Ijma’ tidak dapat diketahui dengan pasti, sehingga tidak mungkin mengqiyaskan hukum syara’ yang amali kepada hukum yang mujma ‘alaih. Asy-Syaukani membolehkan Ijma’ sebagai sandaran qiyas.[3]

  1.  Hukum ashal itu harus disepakati oleh ulama, karena kalau belum disepakati tentu masih diperlukan usaha menetapkannya lebih dahulu bagi ulama yang tidak menerimanya.[4]

  2. Hukum ashal itu tidak menyimpang dari ketentuan qiyas, karena bila menyimpang dari ketentuan qiyas, itu mungkin karena alasan hukumnya tidak masuk akal (irrasional), baik karena dikecualikan dari ketentuan umum atau memang pada dasarnya sudah begitu. Maka tidak mungkin mengqiyaskan sesuatu kepada hukum ashal itu, sebab dalam hukum ashal seperti itu tidak ada daya rentang.[5] Contoh yang tidak rasional dan memegang ditentukan demikian dari mulanya adalah bilangan raka’at shalat.

  3. Hukum ashal itu lebih dahulu disyari’atkan dari far’u. Dalam kaitan dengan ini, tidak boleh mengqiyaskan wudhu’ pada tayammum, sekalipun ‘illatnya sama, karena syari’at wudhu’ lebih dahulu turunnya dari syari’at tayammum.[6]


ü  Furu’

Yakni sebagai sesuatu yang di bangun atau dihubungkan kepada sesuatu yang lain. Syarat-syaratnya adalah :

  1. ‘Illat yang terdapat pada furu’ memiliki kesamaan dengan ‘illat yang terdapat pada ashal, baik pada zatnya maupun pada jenisnya. Maksudnya, seluruh ‘illat yang terdapat pada ashal juga terdapat pada furu’. Jumlah ‘illat pada furu’ itu bisa sebanyak yang terdapat pada ashal atau melebihi yang terdapat pada ashal.[7]

  2. Hukum ashal tidak berubah setelah dilakukan qiyas.

  3. Hukum far’u tidak mendahului hukum ashal. Artinya, hukum far’u itu  harus datang, kemudian dari hukum ashal. Contohnya adalah dalam masalah wudhu’ dan tayammum di atas.[8]

  4. Tidak ada nash atau Ijma’ yang menjelaskan hukum far’u itu. Artinya, tidak ada nash atau Ijma’ yang menjelaskan hukum far’u dan hukum itu bertentangan dengan qiyas, karena jika demikian, maka status qiyas ketika itu bisa bertentangan dengan nash atau Ijma’. Qiyas yang bertentangan dengan nash atau Ijma’, di sebut para ulama ushul fiqh sebagai qiyas fasid, yaitu qiyas yang rusak. Misalnya, mengqiyaskan hukum meninggalkan shalat dalam perjalanan kepada hukum bolehnya musafir tidak berpuasa, karena qiyas seperti ini bertentangan dengan nash dan Ijma’.[9]


ü  ‘Illat

Adalah salah satu rukun atau unsur qiyas, bahkan mrupakan unsur yang terpenting, karena adanya ‘illat itulah yang menentukan adanya qiyas atau yang menentukan suatu hukum untuk dapat direntangkan kepada yang lain. Para Ulama sepakat bahwa Allah SWT membentuk hukum dengan tujuan untuk kemashlahatan hamba-hambaNya. Kemashlahatan itu adakalanya dalam bentuk mengambil manfaat (jalbul manaafi’) dan adakalanya dalam bentuk menolak kerusakan dan bahaya (dar-ul mafaasid). Kedua macam bentuk hukum itu merupakan tujuan terakhir dari pembentukan hukum yang di sebut hikmah hukum. Hikmah hukum berbeda dengan ‘illat hukum. ‘Illat hukum yaitu suatu sifat yang nyata dan pasti ada pada suatu peristiwa yang dijadikan dasar pembentukan hukum.

Sebagai contoh adalah menjual harta anak yatim yang perlu ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Peristiwa ini disebut fara’. Untuk menetapkan hukumnya dicari suatu peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash yang illatnya sama dengan peristiwa pertama. Peristiwa kedua ini memakan harta anak yatim yang disebut ashal. Peristiwa kedua ini telah ditetapkan hukumnya berdasar nash yaitu haram (hukum ashal) berdasarkan firman Allah SWT: QS. An nisa’: 10 yang artinya:

“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara dhalim sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (an-Nisâ’: 10)


Persamaan ‘illat antara kedua peristiwa ini, ialah sama-sama berakibat berkurang atau habisnya harta anak yatim. Karena itu ditetapkanlah hukum menjual harta anak yatim sama dengan memakan harta anak yatim yaitu sama-sama haram.

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:

  • Ashalnya, ialah memakan harta anak yatim.

  • Furu’ ialah menjual harta anak yatim.

  • Hukum ashalnya ialah haram.

  • ‘Illatnya ialah mengurangi atau menghabiskan harta anak yatim.


5.      Kehujjahan Qiyas

Jumhur ulama berpendapat bahwa qiyas adalah hujjah syar’iyyah terhadap hukum-hukum syara’ tentang tindakan manusia. Qiyas menempati urutan keempat diantara hujjah syar’iyyah yang ada, dengan catatan jika tidak dijumpai hukum atas kejadian itu berdasarkan nash atau Ijma’, kemudian ditetapkan hukumnya dengan cara analogi dengan persamaan illat maka berlakulah hukum qiyas dan selanjutnya menjadi hukum syar’i.

Mengenai dalil-dalil tentang dasar hukum qiyas yang membolehkannya sebagai dasar hujjah adalah sebagai berikut:

1.    Ayat Al-Quran

Diantara ayat Al Qur’an yang dijadikan dalil dasar hukum qiyas adalah firman Allah:

“Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli Kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan. (Qs.59:2)

Dari ayat di atas bahwasanya Allah Swt memerintahkan kepada kita untuk ‘mengambil pelajaran’, kata I’tibar di sini berarti melewati, melampaui, memindahkan sesuatu kepada yang lainnya. Demikian pula arti qiyas yaitu melampaui suatu hukum dari pokok kepada cabang maka menjadi (hukum) yang diperintahkan. Hal yang diperintahkan ini mesti diamalkan. Karena dua kata tadi ‘i’tibar dan qiyas’ memiliki pengertian melewati dan melampaui.

2.    Hadits

Dalil sunnah mengenai qiyas ini berdasar pada hadits Muadz ibn Jabal, yakni ketetapan hukum yang dilakukan oleh Muadz ketika ditanya oleh Rasulullah Saw, diantaranya ijtihad yang mencakup di dalamnya qiyas, karena qiyas merupakan salah satu macam ijtihad.

3.    Ijma’

Dalil yang ketiga mengenai qiyas adalah Ijma’. Bahwasanya para shahabat Nabi Saw sering kali mengungkapkan kata ‘qiyas’. Qiyas ini diamalkan tanpa seorang shahabat pun yang mengingkarinya. Di samping itu, perbuatan mereka secara Ijma’ menunjukkan bahwa qiyas merupakan hujjah dan wajib diamalkan.

Umpamanya, bahwa Abu Bakar ra suatu kali ditanya tentang ‘kalâlah’ kemudian ia berkata: “Saya katakan (pengertian) ‘kalâlah’ dengan pendapat saya, jika (pendapat saya) benar maka dari Allah, jika salah maka dari syetan. Yang dimaksud dengan ‘kalâlah’ adalah tidak memiliki seorang bapak maupun anak”. Pendapat ini disebut dengan qiyas. Karena arti kalâlah sebenarnya pinggiran di jalan, kemudian (dianalogikan) tidak memiliki bapak dan anak.

4.    Dalil Rasional.

Mutsabitul Qiyas adalah orang-orang yang menetapkan qiyas berdasarkan pada dalil Al-Qur’an, as-Sunnah, perkataan dan perbuatan para sahabat, dll. yang rasional.

 

Dalil dalil rasional yang mereka gunakan :

  • Allah tidak mensyariatkan hukum melainkan demi kemaslahatan, dan kemaslahatan hamba merupakan tujuan akhir bagi pembentukan hukum Islam.

  • Bahwa nash-nash Al-Qur’an dan as-Sunnah jumlahnya terbatas dan tidak mungkin bertambah lagi (final) padahal masalah yang dihadapi manusia tidak terbatas.

  • Qiyas merupakan dalil yang dikuatkan oleh naluri ucapan yang selamat dan benar.


Daftar Pustaka


Nuruddin, Amiur. 1991. Ijtihad Umar Ibn Al-Khatab. Jakarta: Rajawali.

Haroen, nasrun. Ushul Fiqh. 1996.  Jakarta: Logos.

Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqih. 1997. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

Syafe’i, Rachmat. 2007. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.

http://pustakawan.org/ijma-dan-qiyas-sebagai-metode-ijtihad.html

Komentar